Rabu, 28 Juni 2017

GKJW JEMAAT WONOASRI

Sejarah berdirinya GKJW Jemaat Wonoasri
Sumur bandhung Dumunung tengahing lurung
Kesampar Kesandhung
Arang Manungsa Dumunung
( Sumur Agung berada di persimpangan jalan, sering dilalui orang tetapi jarang mengenalnya )
Sumur Agung = Sumur Bandhung = Sumur Kanthi Banyu Mandhung =
Toya Wening. Papan Wedharake Sabdaning Gusti.
( Sejarah dirangkum : Djoko Suhardi, S.Th. / berbagai sumber )
DI SITU GKJW JEMAAT WONOASRI ADA
Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat wonoasri. Berada di desa Wonoasri, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sejarah Tumbuh Berkembangnya GKJW Jemaat Wonoasri.
Berdirinya GKJW Jemaat Wonoasri tidak terlepas dari peran dan pengaruh seorang tokoh bernama Mateus Anif. Mateus Anif berasal dari desa Karungan, Sidoarjo. Dulunya dia bernama Anif dan belum mengenal ajaran Kristen. Konon, suatu hari Anif ingin belajar nyantrik (belajar ndalang) kepada seorang dalang yang bernama Cermo.
Suatu hari ia melihat ada sekelompok orang yang sedang menebangi pohon. Konon tidak ada seorang pun yang berani menebangi pohon itu karena dipercaya bahwa pohon itu angker, karena pohon itu adalah kratoning lelembut (kerajaan setan), sehingga bila pohon itu ditebang maka warga akan kwalat karena penunggunya marah.
Anif heran melihat apa yang dilakukan orang-orang itu. Orang-orang itu menebang pohon dengan biasa, santai saja dan tidak terbeban takut kwalat. Anif penasaran mengapa mereka tetap baik-baik saja, setelah menebangi pohon dan yang semakin membuatnya penasaran adalah perilaku orang-orang itu tadi sebelum menebang pohon, mereka berkumpul dan membacakan suatu mantra. Ia tertarik dengan ilmu yang dimiliki orang-orang penebang hutan itu.
Karena rasa penasaran, lalu Anif menghampiri mereka dan bertanya kepada mereka ilmu dan rapal apa yang mereka pakai sehingga mereka tidak takut kwalat menebangi pohon itu. Orang-orang itu memberitahu bahwa mereka mempunyai ilmu yang disebut “Toya wening” (air jernih hidup). Anif bertanya, dimanakah ia bisa mendapatkan ilmu tersebut. Orang-orang memberitahu kepada Anif, bila ingin tahu ilmu itu pergilah ke Ngoro dan temuilah seorang yang bernama Coenrand Laurens Coolen.
Lalu pergilah Anif ke Ngoro dan ngangsu kawruh kepada Coolen.
Belajarlah Anif kepada Coolen tentang Toya Wening itu.
Suatu hari Anif mendengar ada seseorang yang mempunyai ilmu yang sama seperti Coolen. Karena ia penasaran maka secara diam-diam ia mendatangi orang itu yang bernama Emde, yang berada di Mojowarno. Di sana ia mengutarakan isi hatinya kepada Emde untuk menjadi murid Emde dan Emde pun menyanggupinya dengan syarat, ia harus di baptis. Lalu Anif pun bersedia untuk dibaptis ; Sesudah itu namanya berubah menjadi Mateus Anif.
Sesudah dibaptis kemudian ia kembali ke Ngoro. Coolen yang mengetahui hal itu dari muridnya yang lain, tidak mau menerima Anif yang sudah bernama Mateus Anif. Pengajaran Coolen berbeda dengan teologi Emde dimana Coolen tidak menekankan baptis dengan alasan Colen ingin menghormati rakyat setempat, karena mereka memiliki budaya sendiri yang harus dihargai. Sedangkan Emde sangat menekankan Baptis.
Maka diusirlah Mateus Anif dari Ngoro, lalu pergi ke Gunung Wilis dan menyebarkan ngelmu Toya Wening. Di Gunung Willis bertemu dengan kompi Pangeran Diponegoro yang ada di situ karena pelarian. Pada akhirnya, ada anggota kompi Pangeran Diponegoro yang tertarik dan masuk Kristen, yaitu kyai Abas, setelah masuk Kristen lalu berganti nama menjadi Barnabas. Setelah itu, Mateus Anif bersama kelompoknya pergi ke daerah Grobogan, Jawa Tengah.
Selang beberapa waktu berada di Grobogan, Jawa Tengah, Mateus Anif lalu kembali ke Jawa Timur dan babad alas di lereng Gunung Wilis, sebelah Timur Laut, dekat jalan besar dari arah Kediri-Nganjuk, yang pada akhirnya disebut desa Wonoasri, sekitar tahun 1856. Seiring perkembangan pawedaring Toya wening, sejak tahun 1856 itulah mulai ada persekutuan Kristen di Wonoasri.
Saudara Barnabas (murid Mateus Anif) ada yang masuk Kristen salah satunya bernama Soedajat. Dan Soedrajat ingin mengikrarkan diri di hadapan Mateus Anif setelah masuk Kristen nama mereka berganti menjadi  Dawud atau Sulaiman ; kemudian Dawud menikahi  anak sulung Mateus Anif yang bernama Saphira.
Mateus anif memiliki 5 orang anak yang mana kelima anak ini yang mejadi cikal bakal kekristenan di Wonoasri. Kelima anak itulah yang kemudian mewartakan injil di daerah Wonoasri : Saphira, Demari, Demaris, Karimin, Kasmin.
Mereka adalah : Sapirah (Nenek moyang dari keluarga mbah Yonatan(Alm), Poerwoatmodjo(Alm) Winoto dan keluarga besar mereka) ; Demari (nenek moyang dari keluarga Mbah Djasiran-Bp.Sihnoto) ; Karmin (nenek moyang dari keluarga Mbah Soepardam-Suprobo) Kasmin (nenek moyang dari keluarga Bp. Sih Hari (Ndewor).
GKJW Wonoasri ini awalnya letaknya di tengah lahan persawah dengan bangunan yang terbuat dari bambu. Karena tidak tahan lama lalu roboh, kemudian tahun 1880 membangun gedung yang terbuat dari batu bata, dan lokasinya pindahlah ke daerah yang lebih depan lagi dari sebelumnya. Lokasinya berada di tengah empat persimpangan jalan setapak  (kini perempatan) yang saat ini berdiri.
Keberadaan gereja di tempat tersebut disebut sebagai “Sumur bandhung dumunung ana tengah lurung” kesempar kesandhung akeh uwong ora ndunung, ana Sabda Agung”. Maksudnya : banyak orang tidak mengerti bahwa dalam bangunan di tengah persimbangan jalan itu adalah tempatnya dikumandangkan Sabda Tuhan Yang Agung.
Dari kisah tersebut GEREJA WONOASRI DEWASA PADA 1881 bersamaan dengan dimulainya penggunaan gedung gerja baru. Selama berdiri telah mengalami 5x renovasi tahun 1880, 1949, 2008,2011,2013.Dan pada tahun 2016 GKJW Jemaat Wonoasri telah membangun sebuah menara lonceng yang ketinggianya sekitar 20 Meter yang letaknya disebelah barat gedung Gereja.
Pada perkembangannya GKJW Jemaat Wonoasri saat ini di tahun 2017 sesuai dengan data yang ada memiliki kurang lebih 553 Jiwa sebagai pengguna gedung Gereja, yang terdiri dari:
204 Kepala Keluarga, 408 Warga Dewasa, 145 Anak-Anak.
Disamping gedung gereja, GKJW Wonoasri juga memiliki YBPK, mula-mula SR / SD, lalu TK, SMP dan SMK.
Juga Gedung serba guna yang disebut Balai pertemuan Among Mitra,
gedung ini biasanya dipakai untuk kegiatan perayaan Natal, Undhuh-Undhuh (hari raya persembahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar